ISMAIL MARZUKI
Komponis Kepahlawanan dari Betawi
1.Pendahuluan
Kala mendengar lagu ciptaanya yaitu
Indonesia Pusaka membuat hati saya menagis akan kerinduan dan kecintaan pada
tanah air, kutipan syair :
“Indonesia tanah air beta
Pusaka abadi
nan jaya
Indonesia sejak
dulu kala
Selalu dipuja-puja
bangsa
Disana tanah
air beta
Dibuai
dibesarkan bunda
Tempat berlindung
dihari tua
Tempat akhir
menutup mata”
Bagi saya makna lagu tersebut
begitu dalam, walaupun sejauh apapun kita pergi tetap saja akhir hayat slalu
ingin menjalani masa tua dan menutup mata ditanah air.
Lagu tersebut tidak jauh lebih
hebat akan sang penciptanya, adalah ismail marzuki. Beliau lahir di Kwitang,
Senen, Jakarta Pusat ( Batavia ) pada tanggal 11 mei 1914. Beliau adalah salah
seorang komponis besar Indonesia yang sangat produktif dan pandai melahirkan
karya-karya yang mendapatkan apresiasi tinggi dari masyarakat.
2.Biografi
Ismail Marzuki yang lebih
dikenal dengan panggilan Maing ini merupakan salah satu maestro musik legendaris di indonesia, memang memiliki bakat seni
yang sulit dicari bandingannya. Sosoknya pun mengagumkan. Beliau terkenal
sebagai pemuda yang berkepribadian luhur dan tergolong anak pintar. Ismail
sejak muda senang tampil necis. Bajunya disetrika licin, sepatunya mengkilat
dan ia senang berdasi. Darah seni Ismail mengalir dari ayahnya, Marzuki yang
saat itu seorang pegawai di perusahaan Ford Reparatieer TIO. Pak Marzuki
dikenal gemar memainkan kecapi dan piawai melagukan syair-syair yang
bernapaskan Islam. Jadi tidak aneh kalau kemudian Ismail sejak kecil sudah
tertarik dengan lagu-lagu.
Orang tua Ismail Marzuki termasuk golongan masyarakat Betawa intelek yang berpikiran maju. Ismail Marzuki yang dipanggil dengan nama Ma'ing, sejak bocah sudah menunjukkan minat yang besar terhadap seni musik. Ayahnya berpenghasilan cukup sehingga sanggup membeli piringan hitam dan gramafon yang populer disebut "mesin ngomong" oleh masyarakat Betawi tempo dulu.
Ma'ing disekolahkan ayahnya ke sebuah sekolah Kristen HIS Idenburg, Menteng. Nama panggilannya di sekolah adalah Benyamin. Tapi kemudian ayahnya merasa khawatir kalau nantinya bersifat kebelanda-belandaan, Ma'ing lalu dipindahkan ke Madrasah Unwanul-Falah di Kwitang. Beranjak dewasa, dia dibelikan ayahnya alat musik sederhana. Bahkan tiap naik kelas Ma'ing diberi hadiah harmonika, mandolin, dan gitar. Setelah lulus, Ma'ing masuk sekolah MULO dan membentuk grup musik sendiri. Di situ dia memainkan alat musik banyo dan gemar memainkan lagu-lagu gaya Dixieland serta lagu-lagu Barat yang digandrungi pada masa itu.
3.Karir
Setelah tamat MULO, Ma'ing bekerja di Socony Service Station sebagai kasir
dengan gaji 30 gulden sebulan, sehingga dia sanggup menabung untuk membeli
biola. Namun, pekerjaan sebagai kasir dirasakan kurang cocok baginya, sehingga
ia pindah pekerjaan dengan gaji tidak tetap sebagai verkoper (penjual) piringan
hitam produksi Columbia dan Polydor yang berkantor di Jalan Noordwijk (sekarang
Jalan Ir. H. Juanda) Jakarta. Penghasilannya tergantung pada jumlah piringan
hitam yang dia jual. Rupanya, pekerjaan ini hanya sebagai batu loncatan ke
jenjang karier berikutnya dalam bidang musik.
Selama bekerja sebagai penjual
piringan hitam, Ma'ing banyak berkenalan dengan artis pentas, film, musik dan
penyanyi, di antaranya Zahirdin, Yahya, Kartolo, dan Roekiah (orangtua Rachmat
Kartolo). Pada 1936, Ma'ing memasuki perkumpulan orkes musik Lief Jawa sebagai
pemain gitar, saksofon, dan harmonium pompa.
Tahun 1934, Belanda membentuk Nederlands Indische Radio Omroep Maatshappij (NIROM) dan orkes musik Lief Java mendapat kesempatan untuk mengisi acara siaran musik. Tapi Ma'ing mulai menjauhkan diri dari lagu-lagu Barat, kemudian menciptakan lagu-lagu sendiri antara lain "Ali Baba Rumba", "Ohle le di Kotaraja", dan "Ya Aini". Lagu ciptaannya kemudian direkam ke dalam piringan hitam di Singapura. Orkes musiknya punya sebuah lagu pembukaan yang mereka namakan Sweet Jaya Islander. Lagu tersebut tanpa pemberitahuan maupun basa-basi dijadikan lagu pembukaan siaran radio NIROM, sehingga grup musik Ma'ing mengajukan protes, namun protes mereka tidak digubris oleh direktur NIROM.
Pada periode 1936-1937, Ma'ing mulai mempelajari berbagai jenis lagu tradisional dan lagu Barat. Ini terlibat pada beberapa ciptaannya dalam periode tersebut, "My Hula-hula Girl". Kemudian lagu ciptaannya "Bunga Mawar dari Mayangan" dan "Duduk Termenung" dijadikan tema lagu untuk film "Terang Bulan". Awal Perang Dunia II (1940) mulai mempengaruhi kehidupan di Hindia-Belanda (Indonesia). Radio NIROM mulai membatasi acara siaran musiknya, sehingga beberapa orang Indonesia di Betawi mulai membuat radio sendiri dengan nama Vereneging Oostersche Radio Omroep (VORO) berlokasi di Karamat Raya. Antene pemancar mereka buat sendiri dari batang bambu.
Tahun 1934, Belanda membentuk Nederlands Indische Radio Omroep Maatshappij (NIROM) dan orkes musik Lief Java mendapat kesempatan untuk mengisi acara siaran musik. Tapi Ma'ing mulai menjauhkan diri dari lagu-lagu Barat, kemudian menciptakan lagu-lagu sendiri antara lain "Ali Baba Rumba", "Ohle le di Kotaraja", dan "Ya Aini". Lagu ciptaannya kemudian direkam ke dalam piringan hitam di Singapura. Orkes musiknya punya sebuah lagu pembukaan yang mereka namakan Sweet Jaya Islander. Lagu tersebut tanpa pemberitahuan maupun basa-basi dijadikan lagu pembukaan siaran radio NIROM, sehingga grup musik Ma'ing mengajukan protes, namun protes mereka tidak digubris oleh direktur NIROM.
Pada periode 1936-1937, Ma'ing mulai mempelajari berbagai jenis lagu tradisional dan lagu Barat. Ini terlibat pada beberapa ciptaannya dalam periode tersebut, "My Hula-hula Girl". Kemudian lagu ciptaannya "Bunga Mawar dari Mayangan" dan "Duduk Termenung" dijadikan tema lagu untuk film "Terang Bulan". Awal Perang Dunia II (1940) mulai mempengaruhi kehidupan di Hindia-Belanda (Indonesia). Radio NIROM mulai membatasi acara siaran musiknya, sehingga beberapa orang Indonesia di Betawi mulai membuat radio sendiri dengan nama Vereneging Oostersche Radio Omroep (VORO) berlokasi di Karamat Raya. Antene pemancar mereka buat sendiri dari batang bambu.
4.Lagu Nasionalisme Perjuangan
Pada periode 1943-1944, Ma'ing
menciptakan lagu yang mulai mengarah pada lagu-lagu perjuangan, antara lain
"Rayuan Pulau Kelapa", "Bisikan Tanah Air", "Gagah
Perwira", dan "Indonesia Tanah Pusaka". Kepala bagian propaganda
Jepang, Sumitsu, mencurigai lagu-lagu tersebut lalu melaporkannya ke pihak
Kenpetai (Polisi Militer Jepang), sehingga Ma'ing sempat diancam oleh Kenpetai.
Namun, putra Betawi ini tak gentar. Malah pada 1945 lahir lagu "Selamat
Jalan Pahlawan Muda".
Setelah Perang Dunia II, ciptaan Ma'ing terus mengalir, antara lain "Jauh di Mata di Hati Jangan" (1947) dan "Halo-halo Bandung" (1948). Ketika itu Ma'ing dan istrinya pindah ke Bandung karena rumah meraka di Jakarta kena serempet peluru mortir. Ketika berada di Bandung selatan, ayah Ma'ing di Jakarta meninggal. Ma'ing terlambat menerima berita. Ketika dia tiba di Jakarta, ayahnya telah beberapa hari dimakamkan. Kembang-kembang yang menghiasi makam ayahnya dan telah layu, mengilhaminya untuk menciptakan lagu "Gugur Bunga".
Lagu-lagu ciptaan lainnya mengenai masa perjuangan yang bergaya romantis tanpa mengurangi nilai-nilai semangat perjuangan antara lain "Ke Medan Jaya", "Sepasang Mata Bola", "Selendang Sutra", "Melati di Tapal Batas Bekasi", "Saputangan dari Bandung Selatan", "Selamat Datang Pahlawan Muda". Lagu hiburan populer yang (kental) bernafaskan cinta pun sampai-sampai diberi suasana kisah perjuangan kemerdekaan. Misalnya syair lagu "Tinggi Gunung Seribu Janji", dan "Juwita Malam". Lagu-lagu yang khusus mengisahkan kehidupan para pejuang kemerekaan, syairnya dibuat ringan dalam bentuk populer, tidak menggunakan bahasa Indonesia tinggi yang sulit dicerna. Simak saja syair "Oh Kopral Jono" dan "Sersan Mayorku". Lagu-lagu ciptaannya yang berbentuk romantis murni hiburan ringan, walaupun digarap secara populer tapi bentuk syairnya berbobot seriosa. Misalnya lagu "Aryati", "Oh Angin Sampaikan. Tahun 1950 dia masih mencipta lagu "Irian Samba" dan tahun 1957 lagu "Inikah Bahagia" -- suatu lagu yang banyak memancing tandatanya dari para pengamat musik.
Sampai pada lagu ciptaan yang ke 100-an, Ma'ing masih merasa belum puas dan belum bahagia. Malah, lagu ciptaannya yang ke-103 tidak sempat diberi judul dan syair, hingga Ma'ing alias Ismail Marzuki komponis besar Indonesia itu menutup mata selamanya pada 25 Mei 1958.
Setelah Perang Dunia II, ciptaan Ma'ing terus mengalir, antara lain "Jauh di Mata di Hati Jangan" (1947) dan "Halo-halo Bandung" (1948). Ketika itu Ma'ing dan istrinya pindah ke Bandung karena rumah meraka di Jakarta kena serempet peluru mortir. Ketika berada di Bandung selatan, ayah Ma'ing di Jakarta meninggal. Ma'ing terlambat menerima berita. Ketika dia tiba di Jakarta, ayahnya telah beberapa hari dimakamkan. Kembang-kembang yang menghiasi makam ayahnya dan telah layu, mengilhaminya untuk menciptakan lagu "Gugur Bunga".
Lagu-lagu ciptaan lainnya mengenai masa perjuangan yang bergaya romantis tanpa mengurangi nilai-nilai semangat perjuangan antara lain "Ke Medan Jaya", "Sepasang Mata Bola", "Selendang Sutra", "Melati di Tapal Batas Bekasi", "Saputangan dari Bandung Selatan", "Selamat Datang Pahlawan Muda". Lagu hiburan populer yang (kental) bernafaskan cinta pun sampai-sampai diberi suasana kisah perjuangan kemerdekaan. Misalnya syair lagu "Tinggi Gunung Seribu Janji", dan "Juwita Malam". Lagu-lagu yang khusus mengisahkan kehidupan para pejuang kemerekaan, syairnya dibuat ringan dalam bentuk populer, tidak menggunakan bahasa Indonesia tinggi yang sulit dicerna. Simak saja syair "Oh Kopral Jono" dan "Sersan Mayorku". Lagu-lagu ciptaannya yang berbentuk romantis murni hiburan ringan, walaupun digarap secara populer tapi bentuk syairnya berbobot seriosa. Misalnya lagu "Aryati", "Oh Angin Sampaikan. Tahun 1950 dia masih mencipta lagu "Irian Samba" dan tahun 1957 lagu "Inikah Bahagia" -- suatu lagu yang banyak memancing tandatanya dari para pengamat musik.
Sampai pada lagu ciptaan yang ke 100-an, Ma'ing masih merasa belum puas dan belum bahagia. Malah, lagu ciptaannya yang ke-103 tidak sempat diberi judul dan syair, hingga Ma'ing alias Ismail Marzuki komponis besar Indonesia itu menutup mata selamanya pada 25 Mei 1958.
5.Kesimpulan
Jikalau W.R. Supratman adalah anak tangsi, maka Ismal
Marzuki lebih tepatnya mungkin anak kampung yang lahir dari tanah betawi. Tanpa
karya-karya curahan beliau mungkin kesenian indonesia tidak dapat dikenal
dikancah internasional, namanya kini diabadikan sebagai pusat kesenian jakarta
Taman Ismail Marzuki (TIM) di Salemba, Jakarta Pusat. Bagi saya beliau adalah komponis
dari betawi yang karya selalu mengobar semangat nasionalisme dan karya-karyanya
terus melekat di hati masyarakat hingga kini dan masa yang akan datang .
Referensi :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar